Tampan dan berani |
Setelah
kami puas berfoto di spot ini, kami pun melanjutkan perjalanan menuju spot
selanjutnya. Tapi tiba-tiba “gais, kalian mau mendaki lagi?” tanya Disya.
“iya.” Gue jawab. Kemudian Disya melirik bukit diatas dengan wajah pucat sambil
menelan ludah GLEEK.. Gue mikir “Batrenya pasti udah abis nih.” Gue beri saran ke Disya “loe
mending jangan paksain diri deh kalo memang gak kuat. Biar kami ber-3 saja yang
naik, loe tunggu di sini saja.” Untuk sedetik gue pikir dia bakal marah
karena di tinggal sendiri. Tapi dia bukan tipe cewek seperti itu, malah dia
seneng ditinggal “yasudah gue tunggu di sini saja sambil makan, laper banget soalnya.”
Akhirnya Disya pun gugur dan tinggal kami ber-3 yang tersisa (sejujurnya kaki gue juga
sudah pegel, gak pernah olahraga sih). Kami berjalan sebentar dan menemukan
sebuah perempatan jalan dengan kondisi yang berbeda. Kalau lurus jalannya lebar
tapi becek, kalau ke kanan jalannya sempit dan gak meyakinkan, dan kalau ke kiri jalanya
sedikit ekstrim. Terus gue tanya “eh lewat mana nih enaknya?” Deki menjawab
“jangan ambil yang lurus, becek, sayang sepatu gue.” Yayan menjawab “jangan ke
kanan, serem, gue gak mau.” Gue menilai “kalo lurus gue juga ogah. Ke kanan kayaknya
menuju ke hutan.” Tiba-tiba ada suara dari jalan sebelah kiri KSREEK SREEK
SSSHH.
Dan munculan beberapa ekor orang dari jalan sebelah kiri, gue kira bakal muncul kanibal berkepala botak sambil bawa tombak dengan teriakan “bulu..bulu..bulu..bulu!!" ..hehe tapi eh ternyata ada sekawanan ABG keluar dari semak-semak, entahlah habis ngapain mereka. Dari situ kami semua sependapat “oke lewat kiri saja.” Walau jalannya agak ektrim kami tetap menerjangnya, bahkan saking ekstrimnya sendal pinjaman yang di pakai Yayan tadi sampai bedat. “waduh sendalnya bedat, bro.” Yayan panik, gue dan Deki cuma bisa tertawa jahat melihatnya "MUAHAHAAA!!" (ini namanya bahagia diatas penderitaan orang lain. Jangan ditiru!). Yayan memutuskan untuk gak pakai sendal alias nyokor, jadi selama foto-foto diatas dia nyokor terus macam Tarzan gitu. Tetapi ketika kami sampai di atas "WUIIHH!!" Pemandangannya terlihat lebih jelas, CLING banget! Ini sih lebih dari luar biasa, keren abis. Langsung deh disantap kita bertiga, kita foto-foto yang buanyak pokoknya jangan sampai nyesel ntar. Memang sih puncak yang kami daki itu bukanlah puncak Sikunir yang sesungguhnya, karena di atas sana masih ada yang lebih tinggi, tapi sayang stamina kami sudah habis, apalagi ditambah sendal bedatnya Yayan yang menyusahkan ini.
Dan munculan beberapa ekor orang dari jalan sebelah kiri, gue kira bakal muncul kanibal berkepala botak sambil bawa tombak dengan teriakan “bulu..bulu..bulu..bulu!!" ..hehe tapi eh ternyata ada sekawanan ABG keluar dari semak-semak, entahlah habis ngapain mereka. Dari situ kami semua sependapat “oke lewat kiri saja.” Walau jalannya agak ektrim kami tetap menerjangnya, bahkan saking ekstrimnya sendal pinjaman yang di pakai Yayan tadi sampai bedat. “waduh sendalnya bedat, bro.” Yayan panik, gue dan Deki cuma bisa tertawa jahat melihatnya "MUAHAHAAA!!" (ini namanya bahagia diatas penderitaan orang lain. Jangan ditiru!). Yayan memutuskan untuk gak pakai sendal alias nyokor, jadi selama foto-foto diatas dia nyokor terus macam Tarzan gitu. Tetapi ketika kami sampai di atas "WUIIHH!!" Pemandangannya terlihat lebih jelas, CLING banget! Ini sih lebih dari luar biasa, keren abis. Langsung deh disantap kita bertiga, kita foto-foto yang buanyak pokoknya jangan sampai nyesel ntar. Memang sih puncak yang kami daki itu bukanlah puncak Sikunir yang sesungguhnya, karena di atas sana masih ada yang lebih tinggi, tapi sayang stamina kami sudah habis, apalagi ditambah sendal bedatnya Yayan yang menyusahkan ini.
Sungguh
bersyukur gue bisa dapat kesempatan emas untuk memandang keindahan dunia dari
atas gunung Sikunir ini di saat cuaca cerah dan udara yang sangat sejuk.
Kami
istirahat kurang lebih sekitar 8 menit, lumayanlah kakinya sudah agak
sehat sekarang. Namun akhirnya kami bangkit berdiri dari batu tempat kami duduk
karena bokongnya nempel terus dibatu dan gak mau dilepas (serasa di lem)
ditambah belenggu hipnotis gunung Sikunir yang menakjubkan ini membuat kami enggan untuk beranjak. Sebenarnya bukan karena batu atau hipnotis sih,
tapi karena makananya Disya sudah habis jadi gak ada yang bisa di makan
lagi..hehe. Perut kami sudah terisi dan sebelum mulai lapar lagi, kami
pun turun menyusuri jalan dimana kami naik tadi untuk melanjutkan ke tujuan
selanjutnya. #Hint: Jalannya cuma ada satu jalur untuk naik dan turun, jadi
harap hati-hati karena ramai sekali#. Ini bukan kali pertama gue mendaki gunung sih,
jadi gue sudah tahu rasanya naik turun gunung
dan yang paling berat itu malah justru turunanya. Bakalan capek banget.
Medan jalan gunung Sikunir |
Ilustrasi Nenek Lincah Src: wanenoor.blogspot.co.id |
Tak
lama kemudian setelah menyiksa Disya dengan olahraga spot jantung. Akhirnya
kami sampai di kaki gunung, dan tinggal beberapa langkah lagi menuju ke
parkiran motor dekat danau. Sebelum itu karena masih ada sisa waktu, kami berfotoria
dahulu di bawah naungan tulisan ‘SIKUNIR SUNRISE-SEMBUNGAN’. Di situ hanya
sekilas sih, karena kamera gue yang low
quality beserta photographer
amatiran ditambah bayangan gelap dari tembok jadi pas foto hasilnya hitam kelam
semua. Jadi kek fotonya Dark Lord yang berpose di bawah tulisan Sikunir.
Kelihatan suram. Haha tetapi beda cerita lagi dengan foto-foto saat di dekat
danaunya, kelihatan sangat jelas. Cling bangeet!!
Tulisan Sikunir :v |
Sekitar jam 9 kami menyusuri
jalan tapi tidak mendapati warung satupun, yang ada cuma kebon. Di saat kondisi
kritis ini hampir memaksa kami untuk memakan daun-daunan di pinggir jalan, kami
menemui sebuah tempat yang disebut Telaga Warna. Apakah itu telaga warna?
Apakah itu sebuah warung makan? Oh bukan.. Bagi para traveller di Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan Telaga
Warna ini, karena Telaga Warna ini adalah salah satu destination utama saat bertamasya ke daerah Dieng.
Telaga
Warna bukanlah warung makan ditengah kali tetapi sebuah telaga yang airnya berwarna jika
dilihat dari atas. Lol. Walaupun ada perasaan kecewa karena bukan warung makan,
kami masih penasaran dengan tempat ini. Hingga akhirnya kami putuskan untuk menjamah Telaga Warna tersebut. Gue
mulai melirik tempat parkir dan langsung diparkirkan motornya. Tiba-tiba hidung
gede gue ini dimasuki sebuah aroma tajam yang membahagiakan jiwa raga gue, eh
ternyata di sekeliling lapangan parkir ini ada banyak warung makan dan tentunya
pusat oleh-oleh juga. Tanpa berpikir panjang kami langsung bergemruduk berebutan
masuk ke warung makan yg paling dekat. #fact: orang lapar susah dikendalikan. hhahahaa
Singkat
cerita, setelah makan dan kenyang kami melanjutkan perjalanan ke Telaga Warna.
Telaga Warna adalah tempat yang fotogenic, benar-benar tempat yang
sempurna buat photographer yang suka
pemandangan dengan beckground air.
Kami hunting foto sekitar 1 jam
sembari melihat-lihat pemandangan yang aduhai indahnya. Cuma pada saat gue
kesana sama temen-temen kondisi telaganya lagi surut, airnya hanya ada
ditengah dan yang di pinggir tinggal lumpurnya doang jadi kalau misal mau foto
ya harus rada ke tengah biar warna airnya kelihatan dan akhirnya kami harus berurusan
dengan lumpur sekarang ckck. Banyak persimpangan jalan yang membuat gue dan temen-temen
bingung, karena gambar peta sama keadaan jalan yang sebenarnya ternyata berbeda...
0 Coretan:
Posting Komentar