Candi Arjuna dan Pemandangannya |
Muter-muter lihat pemandangan gunung dan perkampungan yang bagus-bagus, warbyasaah pokonya. Tak terasa sinar matahari pun mulai pudar di atas kami bersama kabut yang mulai turun dan sumpah dingin banget disana. #Tips: Jangan jualan AC disana, gak bakal laku#. Karena sudah mulai petang dan rasa takut akan kena pilek (terutama hidung gue), akhirnya kami putuskan untuk kembali ke homestay.
Sampai di homestay kami melakukan kegiatan seperti semula, Deki kembali berolahraga jari bersama HP cantiknya, Yayan kembali ke dunia mimpi (tidur), Disya gak tahu dia lagi ngapain di kamarnya (kemungkinan sedang melakukan hal yang bersifat kewanitaan :v), dan gue sendiri sedang preparing buat besok yaitu ng-charge batre kamera, habis itu duduk diam dan mulai berfantasi wkwkwk (if you know what I mean). Walau hawa dingin menusuk tubuh hingga ke tulang tapi kami tak pernah mundur soal kebersihan badan. Kami ber-4 mandi secara bergantian tentunya dan yang pertama adalah Yayan. “Eh, gue gak bawa handuk nih. Boleh pinjem gak?”, Deki menjawab dengan sinis “Jangan punya gue, soalnya ini handuk sakral.” Dalam sekejap, Yayan melirik ke gue dengan tatapan hipnotisnya dan seakan dia berkata “Tatap mata saya, mana handuk, handuk, handuuuuuuuk”. Sontak, gue langsung nunjukin keberadaan handuk gue “ya udah tuh ambil di ransel gue, tapi jangan sampai basah.” Langsung deh Yayan memasang raut wajah poker-face hahaha. Karena barusan tadi mbah Bejo lewat depan homestay, kamar mandi kami ternyata berfasilitaskan air hangat, gue bersorak dalam hati “Hidup mbah Bejooo! Hidup mbah Bejooh!” (eh ngga dink) emang udah dari sononya ada fasilitas itu, cuma kita ber-4 saja yang kurang informasi hehe. Setelah Yayan mandi, giliran si Deki yang mandi, kemudian giliran selanjutnya adalah Disya. Disya ini yang mandinya paling lama diantara kami. Disitu gue merasakan ada yang gak tenang di hati gue, tapi entahlah apa itu. Dan 10 menit berlalu, gue dan para cowok sejati masih menunggu Disya sambil nyemilin roti, 5 menit kemudian tiba-tiba terdengarlah suara pintu “Ngiiikk...”. Suara itu menunjukan kalau Disya sudah selesai mandi, tapi kemudian terdengar lagi suara lain yang mengikuti “Eh, guys, gue minta shamponya donk.” JEDAARR! Ternyata masih belum selesai mandinya.
Singkat saja, tibalah giliran gue yang mandi dan merasakan hangatnya air bak kamar mandi setelah kedinginan selama berjam-jam. Sebernarnya gue pingin mandi dari tadi setelah Yayan, tapi karena handuknya masih basah, akhirnya gue relakan ke yang lain sembari nunggu handuknya kering. Tapi kayaknya percuma deh, soalnya dari giliran pertama sampai akhirnya giliran gue mandi handuknya masih basaaah kuyup. Oh God! Ini namanya penantian yang sia-sia, cuy. Tapi tak apalah, yang penting bisa mandi air hangat, yeey!! Gue beranjak dari kamar tidur ke kamar mandi dengan membawa seperangkat alat mandi pribadi, pakaian ganti dan handuk yang masih basah. Sebelum gue ngebuka pintu kamar mandi jantung gue terasa berdebar-debar, entah ini karena seneng atau gue aja yang terlalu lebay. “Ngiiikk...” ku buka pintunya, gue masuk langsung centelin pakaian dan peralatan mandi, balik badan, dan.. WALAAAAH airnya habiiiisss!!! (WTF!). Ini bener-bener penantian yang sia-sia! Pikiran gue campur aduk antara bingung, sedih, kecewa, dan gila. Sesaat setelah itu gue langsung mengamuk dan berubah menjadi manusia super seiyan ke-4 dan menghancurkan kamar mandi itu dengan kekuatan KA-ME-HA-ME-HAAA!!!
Ilustrasi asap kamar kamdi source: beautifulbuzzz.com |
Beberapa saat kemudian sebelum tidur kami berfoto gila-gilaan di kamar, berbincang-bincang dan membahas perjalanan untuk besok dengan ditemani kopi buatan neng Disya (untungnya bukan jamu, kalau jamu jadi nyai Disya donk, kan gak enak). Deki sebagai navigator menggerak-gerakkan jarinya dengan lincah untuk mencari rute ke gunung Sikunir dan Telaga Warna melalui GPS di HP-nya. Gue sama Yayan sebagai driver, mah, nurut saja. Ternyata aktivitas mengobrol itu menghabiskan tenaga juga, guys, dan ini menyebabkan kontroversi antara perut dan dompet. Yah pada akhirnya kami harus cari makan malam dulu. Malam itu kami makan malam dengan bakso. Sebenarnya rencana awal mau makan di nasi kucingan depan homestay saja biar ngirit, tapi berhubung stok nasinya habis dan warung kucingannya cuma satu, akhirnya kami harus muter-muter pakai motor cari warung makan di suasana dingin yang extream ini. Cuman jalan dengan kecepatan 20 Km/jam tangan gue mengigil berat padahal sudah pakai jaket tebal, dan akhirnya kami dipertemukan dengan warung bakso Dieng, kami langsung parkir dan pesan bakso 4 porsi dan teh anget 4 sendok. Baksonya sih enak ya (mungkin karena lapar), bahkan ukurannya ada yang gak lazim. Bakso kecil-kecil 5 biji, lalu bakso raksasanya 1 biji. BEHH!! Mak nyus deh pokoknya. Apalagi baksonya dibayarin si Yayan, uuiiiihh! Tambah mantap, cuy. Makan bakso panas ditengah hawa dingin emang paling yahuut, sob.
Setelah makan kami pulang ke homestay, kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Tapi gue gak mau hari ini berlalu begitu saja, dan gue putusin untuk main poker dulu bersama Deki dan Yayan. Awalnya kami bertiga main kartu di lantai yang beralaskan karpet, tapi karena hawa dingin yang menggelitiki tubuh kami, kamipun pindah naik ke atas kasur dan kakinya diselimutin biar anget. Kakinya sudah anget, tapi bagian tangan masih dingin nih. Gue masukin saja kedua tangan gue ke dalem baju macam orang cacat yang tangannya buntung, jadi gue pegang kartunya lewat lubang baju bagian bawah, hehe (lumayan hangat ternyata). Beberapa putaran permainan sudah terlewati dan rasa lelah pun mulai menggerogoti otot-tulang kami. Sang kingkong juga sudah mulai bergelantungan di bulu mata kami, makanya matanya jadi berat banget. Kami pun mulai memposisikan badan untuk tidur, dan memejamkan mata SYUUUT. Sebelum tertidur kata-kata terakhir gue pada malam hari itu adalah “Guys, jangan lupa pasang alarm.” Kalimat itu tenyata memecahkan suasana di kamar, langsung deh pada heboh sendiri-sendiri pasang alarm di handphonenya. AHAHAHA!
0 Coretan:
Posting Komentar