Asap beracun Source: coretansekejap.wordpress.com |
Kami melanjutakan perjalanan kembali. Ternyata kalau kita rasakan, 8 km itu jauh banget, mungkin karena jalannya nanjak aja kali ya. Tanjakan yang berikutnya udah gak bercanda lagi, yang ini tanjakannya serius banget. Biar gue kasih bocoran buat kalian yang mau pergi ke Dieng, saat sudah sampai di Wonosobo dan otw menuju kawasan wisata Dieng itu jalannya nanjak, sempit, terus berbelok-belok (jangan ngebut bahaya, apalagi kalau sedang hujan. *Kecuali Rossi), diharuskan mengisi bahan bakar dahulu sebelum naik (karena gak ada SPBU, adanya pertamini. Itu kalau kebagian), usahakan jangan berada dibelakang angkutan bus atau truk karena bahaya awan hitamnya (asap kenalpot) bisa meracuni paru-paru dan juga pikiran kita (pakai masker atau buff), diwajibkan menyalakan lampu karena kabutnya bener-bener tebel membuat jarak pandang jadi pendek, jangan sok jadi pembalab terus nyalip-nyalip kendaraan karena tikungannya tajam, setajam silét, sekian.
Saat jalan tanjakan ini bener-bener ngajak berantem, gue paksa motor butut gue biar terus jalan (pokoknya jangan sampe mogok, kiri kanan hutan & jurang adanya). Gue semangati, gue elus-elus, gue kasih harapan-harapan palsu biar motornya kuat! (Lol!). Kemudian disaat kenceng-kencengnya motor gue ehh tiba-tiba didepan itu ada kayak kemacetan gitu. Gue pikir “Ini kenapa lagi, di tanjakan ada acara macet segala”, hufft.. mau ga mau harus ngeden motor lagi neh. Ternyata oh ternyata yang menjadi biang kemacetan itu mobilnya pak polisi, mobil patrolinya mogok sampe keluar asep dari mesinnya (untung gak keluar jin-nya). “hoh! Koq bisa mobil patroli segede itu mogok di tempat kek gini”. Repotnya pergi ke puncak, kalo mogok gak ada bengkelnya (susah).
Gue terusin nyetir motor sambil merem, kali aja pas gue melek udah sampai di atas (salah satu gejala orang setres!). Setelah perjuangan antara hidup dan mati di tanjakan tadi, akhirnya kami pun sampai di gapura bertuliskan ‘KAWASAN DIENG PLATEAU’. Itu artinya kami telah berhasil melewati semua rintangan yang menghadang. Tapi sayangnya kami gak sempat berfotoria bersama sang gapura. Setelah melewati gapura jalannya mulai membaik walau masih ada sedikt tanjakan. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di pinggir kebun sayur deket sebuah gang, guna menyehatkan kembali bokong kami yang sudah mati rasa sejak tadi (yang ini beneran). Kebetulan di sana ada seorang bapak-bapak naik motor mau keluar gang, bapak itu mendarat di dekat tempat kami istirahat dan tiba-tiba bapak itu menawarkan informasi “Mau kemana dek, gunung Prau atau Telaga Warna?”, langsung aja gue tanya habis-habisan “Pak kalo mau ke homestay Bougenville dimana ya? Terus bukit Sikunir itu dimana?? Kalau mau ke Telaga Warna lewat mana ya, pak??? Bla..bla..bla. Kemudian si bapak dengan senang hati langsung menunjukan arah dengan sejelas-jelasnya. Untuk catatan, penduduk Dieng itu orangnya ramah-ramah jadi jangan sungkan untuk bertanya dan minta pertolongan.
Gapura Dieng Source: dieng.org |
Kamipun mengikuti instruksi yang diberikan bapak misterius di gang tadi tanpa mengesampingkan GPS. Saat itu kami tetep ikuti rute di GPS, serta mencocokan direction yang di berikan tadi. Akhirnya sampailah kami di pertigaan entah-berantah, kalo kata bapaknya tadi sih belok kanan tapi melihat kondisi jalan yang kiri-kanannya kebon, akhirnya berhentilah kami didekat warung jajanan plus jualan pertamini. Navigator kami sedang melacak keberadaan homestay yang dikabarkan ada di samping minimarket dan ada di depan komplek Candi Arjuna, sembari Deki sedang melacak, gue beli bensin dulu di pertamini setempat mengingat kerja keras motor butut gue di tanjakan super tadi. Tak lama Deki pun bicara “Dah bener belok kanan. Yok jalan lagi”, gue nyamber “Eh, guys, cari WC dong. Kebelet nih, sumpah!”. Dari permintaan gue tadi quest-nya berubah dari mencari homestay, sekarang mencari WC umum.. hehe.
Kami mulai berkendara kembali yang harmpir sampai ke tempat tujuan, dengan kecepatan yang sangat pelan sambil lirik kanan-kiri berburu kamar mandi umum. Tak jauh dari pertamini tadi, gue ngeliat ada petunjuk arah yang bertuliskan ‘Komplek Candi Arjuna’, langsung deh gue laporin ke Deki “Dek, Candi Arjuna nih. Sebelah mana homestay-nya?”. Deki clingak-clinguk mencari homestay-nya, “Dicari sambil jalan aja kali ya, Yo. Masuk komplek Candi Arjuna-nya mungkin”. Kami jalan pelan dan tak jauh kami melihat ada homestay Cempaka, homestay ini, homestay itu, tapi gak ketemu yang namanya Bougenville. Malah kami menemukan sesuatu yang lebih menarik, gue ngelihat ada tembok bertulisan ‘Toilet’, bro “Akhirnya..”, gue langsung parkir dan lari masuk ke sebelah mushola karena sudah kebelet banget, tapi disitu hanya ada tempat wudhu doank (dimanakah WC-nya?). Saat gue dalam posisi dilema mencari WC, tiba-tiba Yayan ini menyusul trus dia tanya ke gue “Loe ngapain kesini, Yo?”, gue dengan nada kebelet pipis menjawab “Toiletnya mana sih nih? Kok ga ada?”. Kemudian Yayan menjelaskan “WC-nya ada di sono geblek, gimana sih loe? Gue kira loe mau cuci muka atau cuci tangan”, “Hoh! Mana sih? Kok gue gak liat ya?” gue penasaran. Terus gue jalan keluar liat ada tulisan ‘toilet wanita’ ditembok. Blleeeh... ternyata gue salah masuk.. gue kira disebelah mushola bakal ada WC-nya (biasanya kan begitu). Padahal WC-nya itu ada didepan parkiran motor lho, tapi gue-nya malah fokus ke mushola gitu (biasa, manusia yang hatinya bersih selalu fokus untuk beribadah). #Tips: Kalau mau pipis di WC umum, pilihlah tempat pipis yang nempel di tembok. Jangan masuk kamar mandi, bayarnya lebih mahal (kecuali Anda wanita)#. Keluar WC gue langsung tanya ke Deki “Navigator, gimana kabarnya?”, jawab Deki “Menurut mbaknya yang ada di GPS sih bener di sini tempatnya”, gue bales “Ya udah, coba kita cari lebih kesana lagi”.
Komplek Candi Arjuna |
0 Coretan:
Posting Komentar