Kami bangun jam 4 pagi, 1 menit setelah bunyi alarm dan ternyata masih kurang puas tidurnya, ditambah hawa dingin yang meningkatkan rasa malas kami untuk bangun... hehe. Bangun lagi jam setengah 5. Yayan bangun yang paling pertama, dan otomatis dia bertugas membangunkan yang lain. Singkat cerita kami semua bangun kemudian mandi,
preparing segala macam alat dan berangkat jam 5 lebih. Sialnya saat itu Yayan pakai sepatu KW 1.696.969 dan alhasil sepatunya bobrok, sepatunya mangap-mangap gitu. “Yo, sepatu gue jebol nih. Gimana?” tanya Yayan ke gue. “emm. Pinjam sendal saja sama bapaknya.” gue jawab. “emangnya boleh?” Yayan tampak ragu, tapi gue yakinkan dia “bisa, bisa!” awalnya Yayan ini mau beli sendal yang baru saja, tapi karena saat itu masih pagi buta jadi belum ada tukang sendal yang buka, akhirnya gue pinjamkan sendal sama bapaknya. Hasilnya puji Tuhan bapaknya baik hati mau pinjamkan sendal, walau gede banget tuh sendal. jangan-jangan bapaknya ini keturunan Big Foot?!
Kami pun beranjak dari
homestay ke tujuan pertama yaitu gunung Sikunir. “Wah parah” pikir gue, hawa dingin di pagi hari lebih ngerih ketimbang malam hari kemarin (ini serius!!). Padahal sudah pakai jaket tebal, kaos tangan, dan celana jins, tapi hawa dinginnya masih tembus. Gue menggigil hebat sepanjang perjalanan. Dari
homestay ke gunung Sikunir kira-kira 6 Km jauhnya, dan sejauh itu pula gue menggigil terus, buset!! Selama perjalanan gak ada lampu jalan, hanya lampu motor yang menerangi. “Dek, masih jauh kah?” tanya gue ke Deki. “ngg.. gak, udah deket kok.” Jawab Deki sambil melihat gadgetnya. Sudah hawanya dingin, nih jalannya gelap pula, dan banyak jerawatnya macam planet Mars, lengkap sudah penderitaanku. Tetapi tak lama kemudian kami sampai diparkiran gunung Sikunir, bayar tiket masuk (10k/motor seingatku). #Tips: parkirnya ada 2 tempat: di atas saat bayar tiket dan di bawah dekat danau. Kalau pakai motor saran gue parkir di bawah saja lebih dekat sama gunung nya, tapi ada biaya tambahannya. Gue sempet bingung mau pilih parkir dimana, soalnya bapak yang jaga tiket tadi merekomendasikan parkir di atas saja bareng mobil-mobil. Gue mikir bentar “parkir disini cuma ada mobil doank, gak ada motornya sama sekali.” Lalu gue coba tanya ke Deki “gimana, Dek? Parkir dimana kita? Yayan mana sih?”, Deki menjawab “yah gue sih terserah loe aja. Kalau mereka berdua sudah maju duluan tadi.” Gue akhirnya memutuskan “Yayan sudah jalan ke parkiran bawah ya?. Asudahlah mending gabung sama Yayan saja.” Lalu gue turun menyusuri jalan berbatu mengerikan dan super berbahaya lalu setelah sampai dibawah gue mendapati si Yayan ini ternyata menunggu gue sama Deki di bawah (ceritanya belum sampai parkiran). “eh mending parkir dibawah saja, Yo.” Yayan angkat bicara, seakan tahu apa yang terjadi sama gue dan Deki di atas tadi. “ya udah emang itu rencananya.” Jawab gue. Sampai parkiran, matahari mulai memperlihatkan cahayanya. Gue buru-buru “cepetan gais! Entar keburu telat ambil foto
sunrisenya.” Sebetulnya sejak dari
homestay memang sudah telat sih.
|
Foto sunrise dari parkiran |
Kami mulai mendaki gunung, awalnya semangat kami membara bagai gunung meletus, tapi karena belum sarapan, ya hanya dalam jarak 100 meter saja semangat kami sudah tinggal ampasnya.. hehe. Tapi berkat pemandangan yang mengagumkan pagi itu, tekad kami untuk menuju puncak Sikunir bangkit kembali. Gue bakal terus naik sampai mencapai puncaknya (jauh-jauh ke Dieng gak sampai puncak itu rasanya kayak ada seret-seretnya gitu di hati). Saat itu gue pakai
slayer untuk menutupi udara dingin yang masuk ke hidung sensitif gue ini, walau pun langitnya sudah terang udaranya masih dingin banget disana. Kami berpisah saat mendaki gunung, gue ada di posisi pertama mendahului mereka ber tiga, kemudian Yayan, lalu Deki bersama Disya. Yah gue mengerti kalau Disya itu cewek dan gak bisa di samakan dengan kekuatan anak cowok. Tapi ada Deki yang menemaninya mendaki gunung, jadi bukan masalah lagi (
thank you so much, Deki). Karena sudah tidak sabar ingin melihat negeri diatas awan, gue melesat paling kencang diantara mereka. Tapi disamping itu, gue juga gak mau menyimpan memori indah ini hanya di otak minim gue semata. Gue keluarin kamera dari tas, terus gue lemparin ke kepala orang (eh nggak dink hehe). Gue mengabadikan gambar pemandangan indah di gunung Sikunir ini dengan mempotretnya dari berbagai
angle.
Pada akhirnya gue sampai di
spot pertama, tempat ini yang paling banyak orang pilih untuk berfoto. Selain tempatnya luas, pemandangannya juga
perfect untuk
background foto Sembari nunggu ketiga teman gue sampai di atas, gue
hunting foto sendiri dulu kali ya. “woww luuuaaarrr biiiaasaaaaahh.” Itu kalimat yang ada di otak gue saat itu, menggambarkan setiap detail yang mata gue tangkap disitu, di atas ada langit biru, di bawah ada awan yang bergelora, di tengah ada sinar mentari yang hangat. Udah deh, PECAH banget pokonya, SUPER KEREN!!
|
Pemandangan di spot pertama gunung Sikunir |
Tak lama kami akhirnya berkumpul di persimpangan jalan (di atas gunung ada pertigaan). Kami sempat berfoto-foto dan menikmati keindahan yang hanya sementara ini. “Yo, ke sana yuh? Keknya bagus tuh pemandangannya.” Deki tanya ke gue. Dengan tidak berbasa-basi lagi kami langsung ke bagian ujung, yang dimana paling rame orangnya karena disitu memang salah satu dari 3 spot utamanya. Untuk bisa ber-narzis-ria kami harus bergantian dengan orang lain, menunggu giliran. Waktu berlalu dan akhirnya giliran kami untuk berfoto, kesempatan langka ini benar-benar gue manfaatkan. Pertama foto sendiri-sendiri, lalu setelah puas kami foto berempat sekaligus dengan meminta bantuan mbak-mbak terdekat. Ini benar-benar momen yang gak terlupakan, gais. Foto demi foto tercipta di kamera gue, gak peduli memorinya penuh atau batre habis yang penting tombol kameranya dipencet haha.
|
Foto kita di gunung Sikunir |
Pemandangan dibawah memperlihatkan awan yang menyelimuti sebuah pemukiman warga dan terlihat jelas juga gunung-gunung berwarna biru muda yang mempesona. Ini jelas gue ada di atas awan, karena gue bisa lihat awan jauh dibawah sana. Tapi diatas masih ada awan lagi sih, dan matahari tampak jelas ada disamping gunung biru itu. Gue terpaku melihat pemandangan yang sangat eksotis ini hingga gak sadar ada banyak orang yang antri pingin foto.. hehe. Tapi kemudian sesuatu mengganggu pikiran gue “eh Disya mana?” Disyanya menghilang. “tak tahu lah aku.” Deki menjawab. Dan gue ganti melirik ke Yayan, dan Yayan merespon “itu loh, dia lagi beli tempura goreng.” Ebuseeh gue kirain hilang ditelan bumi, tapi ternyata dia lagi beli tempura goreng. Baru sadar gue ada yang jual tempura di tempat beginian ckck. Disya datang menghampiri “eh
guys, mau gak? Ini enak lho.” “tempura nih, Dis?” tanya gue. “bukan. Ini sosis.” Jawab Disya. “gede juga ni sosis, panjang lagi. Nikmat nih pasti.” Gue bercanda. “Apaan sih loe, Yo!?” Disya kesel.. hehe. Karena kami ber-4 belum makan dari sejak bangun dan tenaga juga sudah terkuras saat naik gunung tadi, kami pun mengulum sosis gede panjang itu bersama-sama (tentunya satu orang satu sosis. Harganya entahlah berapa, bukan gue yang beli).
0 Coretan:
Posting Komentar